TAK
SEMPAT KAU TEPATI
Hari
ini adalah hari pertamaku masuk ke sekolah baruku, seragam hitam putih sudah ku
kenakan. Disaat yang bersamaan, ayah harus dibawah ke Rumah sakit. Entah apa
penyakit yang ayah derita hingga akhirnya karena ayah sering keluar masuk rumah
sakit, aku dititipkan dirumah nenek yang rumahnya jauh lebih dekat dari sekolah
dan jaraknya cukup jauh dengan rumahku. Dua minggu sekali aku pulang ke rumah,
melihat keadaan ayah tak sesehat dulu rasanya sedih banget. Tak tega melihat
tubuhnya yang semakin kurus. Aku mencoba untuk bahagia di depan ayah, walaupun
sebenarnya tak kuat menahan tangis melihat keadaan ayah sekarang.
Aku
cuma punya waktu satu hari untuk bisa bertemu dengan ayah, ibu dan kakakku.
Minggu sorenya aku kembali ke rumah nenek lagi, karena hari seninnya harus
sekolah. Dengan berat hati aku kembali ke rumah nenek, di sepanjang jalan air
mata selalu menetes mengingat kurangnya waktuku untuk bisa berkumpul bersama
orang tuaku. Tak seperti teman-teman yang lainnya yang setiap hari bisa bertemu
orang tuanya, sedangkan aku hanya bisa berkomunikasi lewat handphone saja. Ya,
setidaknya aku bisa menceritakan semua keluh kesahku ke ibu.
Tiga
minggu sudah aku belum bisa pulang ke rumah untuk bertemu orang tuaku karena
tugas sekolah yang menghalangiku untuk pulang. Sabtu sore, kakak tiba-tiba
datang menjemputkun untuk pulang karena ayah sangat merindukanku katanya. Aku
bergegas menyiapkan pakaian dan berpamit kepada nenek untuk pulang. Disepanjang
jalan kakak menceritakan keadaan ayah yang semakin memburuk. Sesampainya di
rumah, aku langsung menuju kamar tempat ayah istirahat dan duduk disebelahnya.
Perasaan sedih itu datang kembali. Ayah menceritakan kesedihan dan kerinduannya
padaku, begitupun dengan ibu. Saat aku mendekatinya di dapur, ibu juga merasa
sedih atas musibah ini. Terlihat jelas rasa capek yang ibu rasakan, tapi ibu
tetap bersabar dengan cobaan ini.
Waktu
terasa begitu cepat, minggu sore membuatku harus pulang ke rumah nenek lagi.
Aku melangkahkan kaki untuk pamit ke ayah, saat itu juga aku meneteskan air
mata, begitupun ayah langsung memelukku dalam tangisnya dan meminta maaf padaku
karena selama aku sekolah disekolahku yang baru, ayah belum bisa
mengantarkanku. Ayah juga bilang kalau kepengin banget bisa nganterin aku dan
berjanji kalau sudah sembuh bakal nganterin aku ke sekolah. Air mata semakin
deras mengalir mendengar kalimat itu, ayahpun semakin erat memelukku. Ibu yang
melihat aku dan ayah menangis ikutan menangis. Sore ini aku benar-benar
merasakan kasih saying orang tua yang sebenarnya padaku. Tak ingin rasanya
meninggalkan rumah, tapi aku memang harus tetap pergi ke rumah nenek karena
harus sekolah besok.
Hari-hari
terus berlalu hingga tak terasa tiba saatnya liburan kenaikan datang. Aku
menyambutnya dengan senang, karena selama liburan aku bisa menghabiskan waktu
libur panjangku di rumah bersama orang tua dan kakakku. Hari ini juga aku
dijemput kakak untuk pulang, dengan semangat aku menyiapkan semua pakaian dan
beranjak pulang. Ayah menyambutku dengan senyuman.
Tiga
hari sudah aku di rumah dan dekat dengan kedua orang tuaku. Tapi, ayah hari ini
merasa drop kesehatannya dan meminta kakak untuk menjemput nenek supaya datang
ke rumah. Nenek pun datang ke rumah dan menunggui ayah sambil ngobrol, malamnya
setelah ayah selesai makan disuapi ibu, ayah merasa sangat dingin dan bilang
kalau mau tidur di kamar. Aku dan ibupun bergegas untuk sholat isya. Tak lama
setelah sholat selesai, nenek tiba-tiba berteriak panik memanggil ibu yang
masih duduk di tempat sholat. Ibu berlari menuju nenek yang sedang bersama ayah
saat itu. Pandangan ayah kosong, ibu sangat panik dan segera memanggil dokter
yang kebetulan rumahnya disamping rumahku. Saat detak jantungnya di cek, Dokter
mengatakan ayah sudah tiada. Tangis memecah keheningan malam, betapa
terpukulnya aku, tak percaya akan seperti ini. Ibu terus menangis menambah
hancurnya perasaanku. Aku yang masih belum percaya terus menyuruh ayah untuk
bangun dari tidurnya, tapi Ayah masih terus terbaring diam. Seharian aku tak
mau makan begitupun dengan ibu yang terus menangis.
Seiring
berjalannya waktu, kami dapat menerima kenyataan yang ada akupun pindah sekolah
karena ibu sendirian dirumah, sedangkan kakak bekerja. Kakaklah yang sekarang
menjadi tulang punggung menggantikan sosok ayah. Kakaklah yang selalu
menasehati dan melindungiku. Sampai sekarang, masih terus teringat dan menangis
kalau ingat ayah dulu. Belum sempat ayah mengantarku ke sekolah, tapi Allah
berkehendak lain. Allah lebih saying sama Ayah.
Sumber : Tika Amalia al Nazat
Comments
Post a Comment