selamat datang di Ndesathok.blogspot.com
SEPERTI SEBELUM SEBELUMNYA
page : 4 lembar
font size = 16
link download seperti biasa ada di paling bawah
Baca Juga : KHUTBAH JUM'AT "MEMOHON AMPUNAN".DOCX (TINGGAL CETAK)
Baca Juga : KHUTBAH JUM'AT BUKTI KEIMANAN.DOC
Zuhud Cegah Eksploitasi Alam
Oleh : Nawang Lukman Priyonggo
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Jamaah Jum’at yang berbahagia.
Ucapan
syukur sudah semestinya menjadi kalimat pembuka khutbah pada kesempatan siang
kali ini. Syukur atas segala limpahan nikmat-Nya yang tak terhitung lagi
jumlahnya.
Selanjutnya,
semoga shalawat dan salam selalu tersanjungkan kepada Nabi Muhammad saw.
Beliaulah suri tauladan bagi setiap manusia.
Tak
lupa pula, melalui mimbar Juam’at ini, khatib mewasiatkan kepada diri pribadi
dan kepada jamaah sekalian untuk selalu berupaya meningkatkan ketakwaan kepada
Allah SWT. Sebab takwa adalah sebaik-baiknya bekal untuk kehidupan manusia
selanjutnya setelah alam dunia yang fana ini.
Jamaah Jum’at yang dirahmati
Allah SWT.
Di
tengah maraknya kerusakan akhlak, sikap Zuhud menjadi salah satu solusinya!
Zuhud adalah sikap mendahulukan urusan Tuhan dan kemanusiaan daripada urusan
duniawi pribadi dan kelompok. Zuhud bukan anti kekayaan dan identik dengan
kemiskinan, melainkan sikap menjauhi sifat serakah. Keserakahan dalam
mengeksploitasi alam sering menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dan
kerusakan alam karena sikap yang tidak ramah lingkungan.
Rasulullah
SAW pernah pengigatkan adanya watak manusia yang cenderung serakah dalam
menguasai sumber daya alam untuk mendapatkan harta yang banyak: “Sekiranya anak Adam mempunyai
satu lembah emas niscaya ia berambisi memiliki dua lembah emas. Dan tiada yang
bisa memenuhi mulutnya selain tanah, dan Allah menerima taubat orang yang
dikehendaki-Nya.” (Hadist Muttafaq ‘alaihi dari Anas ibn Malik RA).
Dorongan
untuk menumpuk-numpuk harta termasuk pengambilan sumber daya alam yang tidak
terkendali bersuber dari hawa nafsu yang berlebihan. Dorongan inilah yang kemudian
membuat sebagian orang menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Karena
itu, Abu Hasan al-Mawardi menyebutkan, “Adapun hawa nafsu merupakan penghalang
bagi kebaikan dan penentang akal pikiran, darinya timbul akhlak yang buruk dan
pekerjaan yang hina sehingga membuat reputasi orang menjadi rusak dan jalan
menuju kejahatan menjadi lancar.”
Degan
demikian, ketika orang sudah tidak memedulikan halal-haram dalam mencari
rezeki, tanpa sadar ia telah menuhankan hawa nafsunya. Abdullah ibn Abbas RA
sebagaimana dikutip oleh Al-Mawardi di dalam Kitab Adab al-Duny wa al-Din
menegaskan bahwa hawa nafsu bisa menjadi Tuhan selain Allah yang suka disembah
manusia. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhanya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah
mengunci mati pendenganran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatanya-nya? Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkanya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS al-Jasiyah: 23).
Fenomena
eksploitasi alam alam secara besar-besaran untuk menghasilkan keuntungan yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan, sejatinya bisa diatasi dengan
kesadaran-kesadaran diri bahwa kenikmatan hakiki bukan pada harta benda yang
berlimpah, melainkan pada kekayaan hati. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Kekayaan itu bukan disebabkan
banyaknya harta, melainkan pada kekayaan jiwa.” (Hadis Mutafaq
‘alaihi dari Abu Hurairah RA). Sedangkan, kekayaan
jiwa muncul tiada lain kembali pada konsep zuhud yang telah disebutkan tadi.
Hal ini paling tidak seperti yang dicerahkan Imam al-Ghazali bahwa Salman
al-Farisi RA bertutur, “Jika seseorang hamba telah mampu berzuhud terhadap
dunia, maka hatinya akan bersinar penuh hikmah dan anggota badanya akan saling
membantu dan mengerjakan ibadah.”
Untuk
itu, Imam al-Ghazali menguraikan bahwa zuhud itu ada dua kategori, yaitu zuhud
yang berada dalam kapabilitas manusia dan zuhud yang di luar kapabilitas
tersebut. Jika seseorang sudah, pertama, tidak lagi
mengejar kesenangan dunia yang luput darinya; kedua, mau berbagi
kesenangan dunia yang ia miliki kepada sesama; dan ketiga, hatinya tidak lagi berhasrat dan punya niat untuk
meraih kesenangan dunia, yang kesemuanya dimaksudkan untuk meraih rida Allah
dan pahala-Nya yang agung dengan banyak mengigat mudharat-mudharatnya. Maka,
ketika itu berarti ia telah dikaruniai rasa ketidakinginan terhadap dunia.
Itulah yang menurut al-Ghazali yakni rasa “ketidakinginan” sebagai zuhud yang
sebenarnya.
Jika
zuhud sudah menjadi kesadaran, ia merasa tiada guna dan manfaatnya melakukan
eksploitasi alam secara basar-besaran untuk mendapatkan keuntungan tanpa
mementingkan akibat yang terjadi dari kegiatan tersebut. Sebab, pada
kenyataannya, hal paling didambakan setiap orang adalah ketenangan batin. Hidup
kian terasa tidak nyaman manakala batin semakin menderita. Walaupun hasil
eksploitasi alam itu ia gunakan untuk beribadah haji berulang-ulang, ibarat
mandi dengan air kotor, kebersihan hati pasti tidak akan didapatkan.
Kata
Syekh Utsaimin, setiap orang yang zuhud pasti memiliki sifat wara’, tetapi tidak setiap orang wara’ menjadi zuhud.
Sebab, wara’ hanya menjauhi perkara yang dapat menimbulkan
kesulitan atau kemudharatan di akhirat nanti. Sementara, zuhud adalah kemampuan
menjauhi perkara yang tidak berguna bagi kehidupan di akhirat. Jika, zuhud
lebih luhur ketimbang sifat wara’ sehingga wajar bila zuhud telah menjadi
pendoman hidup seseorang, alih-alih perkara yang haram atau syubhat, bahkan
perkara yang tidak memberikan nilai manfaat untuk akhirat saja ia tinggalkan.
Walhasil, eksploitasi alam secara besar-besaran untuk diambil keuntunganya
tidak akan pernah dilakukan karena tidak hanya merugikan di akhirat, tetapi
juga membinasakan di dunai karena sifat keserakahan yang ada.
Itu
bukan berarti tidak boleh memiliki kekayaan. Sebab, pada dasarnya Islam
menghargai hak milik individu. Namun, kekayaan tidak membuatnya buta terhadap
aturan Allah. Abu Bakar ash-shiddiq RA adalah orang kaya, tetapi tidak ada yang
meragukanya sebagai orang yang zuhud. Demikian pula, Usman bin Affan dan
Abdurrahman ibn Auf RA juga merupakan sederetan orang kaya pada zaman Nabi.
Akan tetapi, mereka tidak pernah melakukan cara-cara yang diharamkan Allah
dalam memperolah harta kekayaannya itu. Malah sebaliknya, kekayaannya menjadi
wasilah meraih ridha Allah.
Terakhir,
marilah kita renungkan kembali firman Allah SWT berikut:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä
ª!$# u#¤$!$#
notÅzFy$# ( wur
[Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB $u÷R9$#
( `Å¡ômr&ur !$yJ2
z`|¡ômr& ª!$#
øs9Î) ( wur
Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$#
( ¨bÎ)
©!$# w
=Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya: “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS al-Qashash: 77)
باَرَكَ اللهُ لِيْ ولَكُمْ فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ
وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِكْرِ الحَكِيْمِ. أَقُوْلُ
قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ َوَلِسَائِرِ
المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ
الرَحِيْمُ.
KHUTBAH KEDUA
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ
لَولَا أَنْ هَدَانَا اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ المَلِكُ
الحَقُّ المُبِيْنُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ صَادِقُ الوَعْدِ
الأَمِيْنُ.
اللَّهُمَّ فَصَلِّ عَلَي مُحَمَّدٍ وآلِهِ وَأَصْحَابِهِ، وَمَنْ
تَبِعَهُ إلَي يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ فَأُوْصِيْنِي وَإِيَّاكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تُقَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
Ma’asyiral Muslimin
Rahimakumullah
Sekali
lagi, Zuhud bukan berarti kemiskinan, melainkan adab terhadap kekayaan dengan
cara yang diridhai Allah ketika mencari, memperoleh, dan menyalurkanya. Zuhud
adalah sikap batin di mana hati manusia tidak terjerat oleh godaan-godaan dunia
(al-hubb ad-dunya). Dunia ditaruh dalam tanganya, sekedar untuk ibadah kepada
Allah SWT, bukan diletakkan dalam hatinya. Sehingga menjadi harapan, jika zuhud
sudah menjadi kesadaran, maka manusia merasa ridak ada guna dan manfaatnya untuk
melakukan sikap serakah.
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِي يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا،
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ
وِالمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إنَّكَ أَنْتَ سَمِيْعٌ
قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَا قَاضِيَ الحَاجَاتِ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا
رَبَّيَانَا صِغَارًا، اللَّهُمَّ أَعِنَّا عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ
عِبَادَتِكَ، اللَّهُمَّ أَمِتْنَا عَلَى الإِسْلَامِ وَلإيْمَانِ، رَبَّنَا هَبْ
لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنِ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامَ، رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي
الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ
عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامُ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ، وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ
العَلَمِيْنَ، أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ
DOWNLOAD : 1. KHUTBAH JUM'AT:ZUHUD CEGAH EKSPLOITASI ALAM.DOCX
2. KHUTBAH JUM'AT:ZUHUD CEGAH EKSPLOITASI ALAM.PDF
Comments
Post a Comment